Dia Telah Pergi...

Pernahkah alam bercerita?
Bahwasanya ketika bumi berputar untuk pertama kalinya
Ia tersenyum semanis dewa
Sehingga rembulan rela berlari mengitarinya


Anyway hari ini gw bukan mau ngebahas pelajaran IPA kayak yang diajarin jaman SMP dulu. Tapi gw mau cerita tentang seseorang yang bisa membangkitkan minat gw sama yang namanya puisi..

Orang yang satu ini memiliki sepasang bola mata yang setajam elang, hingga mampu menusuk jauh ke dalam hati yang memandangnya. Rambutnya yang keriting selalu dipangkas pendek, sebelum berkembang menyerupai 'hutannya' Edi Brokoli. Wajahnya memancarkan pesona misterius yang jarang ditemui di setiap pria. Sekilas orang yang baru pertama mengenalnya akan menganggap pria ini seorang yang sinis. Padahal di balik hatinya, terdapat keteduhan dan keramaian yang mengalir syahdu untuk orang-orang di sekelilingnya.

(Hmm.. Keliatannya gw punya bakat nulis novel nih..)

Sosok misterius ini adalah Si Dex. Sobat baek gw. Gw pertama kali ketemu ma dia taon 1998, di Lhokseumawe, kelas 3 SMP. Waktu itu, status gw adalah sebagai murid pindahan dari Banda Aceh. Seperti orang kebanyakan, gw awalnya nganggap Si Dex orang yang sinis en agak sedikit sombong. Pendapat gw gak berubah utk setaon pertama, mungkin karena kami jarang ngomong. Ada fakta lucu yang gw temuin waktu itu, bahwa ternyata Si Dex adalah tipe "orang yang gak bisa baca tulisan tangannya sendiri"..
(Ada gk sih, orang laen yang punya sifat kayak gini?)

Setelah tamat SMP, ternyata kita ditakdirkan sekolah di SMU yang sama, SMUN 2 Cot Gendreut nama kampungnya, nama nasionalnya adalah SMU Modal Bangsa. Waktu itu, taon 1999, pas Aceh lagi serem-seremnya, SMU ini adalah SMU terbaik di Aceh, n termasuk 10 besar nasional. Siswa-siswanya banyak meraih penghargaan dimana-mana, gw gak termasuk ke dalam kelompok ini. Gw dengan beruntungnya bisa kedampar disitu, bareng sembilan orang temen se-SMP gw. Ni sekolah sistemnya asrama, so senioritas adalah budaya. Jadi jangan heran klo ada insiden-insiden kecil ala STPDN disitu, tapi gak parah-parah banget.

Berhubung kamar gw sebelahan ama Si Dex. Mulailah kita jadi lebih akrab, en gw mulai tahu lebih banyak tentang Si Dex. Pelan tapi pasti, pandangan gw ke dia mulai berubah. Karena SMU kami tu letaknya di kampung yang kiri kanannya hanya ada sawah, kita pun mulai keluar ke kota bareng. He taught me a lot of things, Si Dex dah kayak guru gak resmi bagi gw, en itu masih berlanjut ampe sekarang, gw belajar banyak dari manusia yang satu ini. Intinya gw ngelakuin banyak hal dengan Si Dex selama di SMU dulu, cabut malem-malem, de el el, termasuk curhat sebelum nembak cewe.. (Hu hu hu.. Hasilnya: ditolak!!)

Setelah lulus SMU gw merantau ke Jogja, en Si Dex ke Jakarta. Ternyata emang nasib yang menyatukan kami (No! This isn't Brokeback Mountain 2!). Dua taon kuliah di Jogja ternyata gak membuat gw betah di kota Gudeg. So karena satu en laen hal, gw mutusin keluar dari Universitas tertua di Indonesia alias UGM, en milih ke kampusnya Si Dex, STIS! Mungkin karena kedekatan gw dengan Si Dex-lah yang nyebabin gw milih sekolah ini, padahal gw juga diterima di FK Unsyiah (ga bodo-bodo amat kan?). Persahabatan kami jugalah yang membuat gw milih ngekos bareng dengan Si Dex, sekamar lagi! Kebetulannya kamarnya tu emang buat dua orang. (One More Time! This isn't Brokeback Mountain 2!)

Kita ngejalanin hari-hari kita di STIS selama tiga taon, ngalamin banyak hal berdua, termasuk jadi korban semut mutant, en banyak lagi, sampe akhirnya Si Dex dianggap "gagal lulus" oleh pihak kampus. Karena ini sekolah pemerintah, jadi ya kami diwajibkan harus lulus dalam 5 taon, lewat sehari aja? DO bung!! Ya inilah yang dialami oleh Si Dex. Untungnya dia dah punya kerjaan yang udah mulai ngehasilin. So dia konsen disana n tetep berdomisili di Jakarta, masih sekos bareng gw.

Hanya saja puasa Ramadhan 2007 kemaren menjadi hari-hari terakhir gw sekamar ama sahabat gw ini. Yup, sebelon lebaran Si Dex mutusin pindah ke Kalibata (gak jauh-jauh amat sih..), untuk mengejar mimpinya! Gw ga punya wewenang untuk ngejelasin mimpinya Si Dex disini, tapi yang ang pasti it's everything for him..

Well, at that moment, it seems impossible for me to asked him to stay. En gw juga paham, bahwa suatu saat nanti kami pasti akan hidup terpisah, raise a family (I'm ready!), and so on..
Gw gak ngerasa kehilangan, karena bagi gw, persahabatan kami masih seperti dulu, nothing's changed, hanya jarak yang tidak terlalu jauh yang memisahkan. En menghadapi kenyataan ini, gw cuma bisa bilang, "dia telah pergi..."