Alone In Jakarta

Monday, March 31, 2008
Episode Terakhir dari Trilogi Si Romi


Di episode terakhir ini, gw bakal ceritain tentang perjalanan Si Romi mengarungi macetnya jalan-jalan di Jakarta. Bedanya, kali ini gw gak ikut. Disini, peran gw cuma sebagai narator, peran utamanya disabet Si Romi (gw bakal kembali jadi perah utama di posting-posting berikutnya). Entah kenapa, gw ngerasa kayak Watson yang sedang nyeritain Sherlock Holmes. Padahal petualangan Si Romi gak ada mantapnya sedikit pun, yang ada cuma kebodohan en kekonyolan.

Kali ini kekonyolan itu berlanjut...

Saat itu, hari Senin pagi, Si Romi harus nyerahin berkas-berkas dokumen administrasi ke pihak RS, termasuk pas photo hasil jepretan Studio #4, sementara gw lagi sakit mata sulit-sulitnya membuka mata di pagi itu. So, berangkatlah Si Romi menuju RS Fatmawati sendirian, tanpa ada yang menemani, cuma bermodal ransel butut yang dipinjam dari gw en senyum manis yang bisa meluluhkan hati wanita-wanita manula manapun.

Berbekal pengalaman yang berhasil nyampe di RS dua kali, Si Romi dengan percaya diri melangkahkan kakinya ke atas Kopaja 612. Dia mengambil tempat duduk di pinggir jendela en mandang ke luar dengan keyakinan bakal sampe tujuan, karena sudah dua kali melalui jalan yang sama, tanpa menyadari bahwa mungkin Tuhan berkehendak lain hari itu. Setelah memperhatikan jalan-jalan macet yang dilewati Kopaja selama setengah jam, percaya diri Si Romi makin bertambah melihat gedung-gedung metropolitan Jakarta yang sudah pernah ia lewati sebelumnya.

Hanya saja, kemacetan yang selalu parah di Senin pagi, membuat supir Kopaja berubah pikiran. Alih-alih mengambil rute seperti biasanya, yaitu berbelok ke jalan-jalan sempit di Kemang Timur dan Ampera Raya, Si Supir memilih untuk terus lurus melalui Jalan Warung Jati Barat yang ujungnya tu Ragunan. Disinilah masalah bermula, Si Romi merasa mulai tidak mengenali jalan yang sedang dia lewati.

Setetes demi setetes keringat mulai meleleh keluar dari pori-pori badan Si Romi. Saat itu, walau jalan-jalan Jakarta sedang rame-ramenya ama kendaraan yang penuh sesak, tapi ia merasa seperti sedang berada di tengah hutan rimba yang sejauh mata memandang hanya ada pohon dan semak belukar, tanpa kompas. Di tengah kebingungan ini, Si Romi mencoba percaya pada supir Kopaja, ia yakin suatu saat nanti pasti nongol daerah yang dia kenal.

Kepercayaan itu menunjukkan hasil, Si Romi melihat perempatan yang dia yakin inilah tempat pemberhetiaannya, sebelum melanjutkan naek 509 ke Fatmawati. Sayangnya nilai C- pada tes memori bukanlah kesalahan penguji, Si Romi salah membedakan perempatan Cilandak dengan perempatan Ragunan.
Walhasil, abis turun dari 612, manusia yang satu ini melangkah dengan pasti ke arah Pasar Minggu, yang notabene arahnya bertolak belakang dengan Fatmawati.

Setelah berjalan selama 15 menit en belum juga nemuin halte tempat ngetem Kopaja 509, Si Romi serasa disambar geledek en baru sadar klo ia udah salah arah. Dia langsung berjalan balek ke perempatan Ragunan trus naek lagi 612 yang lagi lewat. Sampe akhirnya, dia liat sebuah perempatan, dimana 612 berseliweran, pos polisi yang dikelilingin ma pohon lebat, warung tempat berteduh pas hujan, pinggir jalan tempat ngerokok pas nunggu 612 kemaren. Perempatan Cilandak!!

Si Romi seperti menemukan napasnya kembali, dengan lugas ia turun dari 612, menyebrang jalan, melewati pos polisi yang banyak pohonnya, dan akhirnya ia bisa melihat sebuah halte yang di depannya ada Kopaja 509 berwarna kuning. Suara cempreng kernek yang berteriak, "lebak bulus! lebak bulus!" serasa bagai nyanyian merdu di telinga Si Romi. Demikian juga, tempat duduk yang penuh terisi, yang menyebabkan ia harus berdiri tak mampu menggoyahkan ketenangan hatinya.

Setelah 509 mulai jalan, Si Romi memusatkan pikiran dan raganya pada perempatan pertama setelah perempatan Cilandak, yaitu perempatan Fatmawati. Selang beberapa menit, ia melihat sebuah perempatan, namun bukan di jalan yang sedang dilalui Kopaja, melainkan di jalan lingkar Jakarta yang berada di bawah. Si Romi mulai meragukan ingatannya, apa ini Kopaja yang bener? Apa aku salah jurusan?

Pengalamannya sebagai mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Farmasi USU membuatnya tak mudah panik. Ia menarik napas dalam-dalam, dan mulai menenangkan diri, Aku harus menyusun strategi! Tepat saat Si Romi berhasil mengumpulkan ketenangannya dengan susah payah, terjadi kegaduhan di dalam Kopaja. Seorang Ibu yang duduk dua bangku di depannya, mulai panik, menoleh ke sekililingnya dengan panik, dan dengan wajah pucat yang hampir menangis, berkata, "tolong!! Saya tersesat!! Saya dimana ini?"

Seketika, semangat Si Romi jatuh ke dasar tanah yang paling dalam, sedalam lubang pengeboran minyak bumi. Kepanikan Si Ibu dengan cepat mulai menjalar ke pembuluh nadinya, dan mulai memenggal harapan-harapan yang masih tersisa. Jangan-jangan nasib aku juga sama kayak ibu itu. Tersesat di Jakarta bagian entah dimana. Saat itu, kondisi Si Romi mungkin lebih buruk dari Si Ibu, tatapannya kosong, kulitnya pucat, hanya debar jantung yang kencang luar biasa yang menandakan ia masih hidup.

Perlahan, ia menatap ke arah Si Ibu berwajah pucat yang sedang mendengar arahan dari empat orang di sekelilingnya.
"Ntar, abis ini, Ibu turun di ..., trus naek ... ke arah ...."
"Ya, bener bu."
"Ibu juga bisa naek ..., tapi turun di ..., baru lanjut ke ...."
"......."
Omak... Ibu tu udah ada yang nolongin. Kalo aku, siapa yang tolong?

Saat itu, detik yang berlalu serasa bagai semenit, dan semenit serasa bagai sejam. Si Romi benar-benar tenggelam dan putus asa di tengah-tengah kota terbesar di Indonesia. Keringat mengucur semakin deras dan mulai membasahi kemejanya. Waktu terus berlalu, sementara yang ia lakukan hanya menguping pembicaraan Si Ibu yang masih pucat dengan empat orang penolongnya, yang jelas tidak memberikan solusi bagi masalahnya.

Lelah mendengarkan pembicaraan mereka, dengan tatapan kosong Si Romi memalingkan muka ke kanan. Samar-samar, ia melihat bangunan yang dikenalnya, bangunan tempat dia pernah singgahin bareng Si Bebenk, Si HendraS, Si Iman, en Si Kai. Bangunan yang berupa sebuah mall. Citos!!

Langsung setelah matanya mengenali Citos, semangatnya hidup kembali dan melambung setinggi puncak Monas. Segera saja, ia menoleh ke kiri dan mendapati RS Fatmawati, tempat tujuannya, masih di tempat biasa. Si Romi hanya bisa menghela napas lega dan menggelengkan kepala, ia baru saja menghabiskan waktunya dengan kecemasan yang seharusnya tak perlu terjadi. Untung kemaren Si Kai ngajak ke Citos, klo nggak .... Ia tak bisa menyelesaikan kalimat yang sudah terangkai di kepalanya.

Sebelum turun, Si Romi kembali menoleh ke kanan, dan tersenyum pada Citos, yang berdiri dengan gagahnya, seakan menaungi manusia-manusia yang sedang tersesat.


...........



Epilog

Selanjutnya tak ada lagi cerita menarik yang bisa gw tulis, karena sejak saat itu, Si Romi tak pernah lagi tersesat ke Fatmawati. Dia mulai berani melangkah sendiri di Jakarta, nyari Gramed, bahkan pada saat post ini gw tulis, dia sedang menuju Bekasi, tempat Si Bebenk, sendiri. Ya, mudah-mudahan aja, dia bisa ketemu Si Bebenk en pulang dengan selamat plus GPS (gak pake sesat).

En gw bakalan ngelaluin April sendirian di kos, cuz Si Romi balek ke Medan di awal April. Kalo ada tiket, dia pinginnya pulang tanggal 4 malem naek Lion, bukan karena pengalaman mencekam naek Air Asia, tapi karena pengen nyoba maskapai yang laen.

Si Romi justru menilai positif pengalamannya naek Air Asia. Penundaan keberangkatan sampe tiga kali, justru menunjukkan kalo pihak Air Asia sangat peduli pada keselamatan penumpang, dan tidak melanjutkan perjalanan dengan kondisi pesawat yang gak normal demi mencari profit. Mungkin ini disebabkan karena manajemennya bukan dari orang Indonesia yang profit oriented, tapi dari orang asing berpikiran maju yang brand oriented.

Kembali ke soal kos-kosan, sebenarnya ada temen gw yang minta sekamar dengan gw. Tapi, setelah mikir beberapa hari, terpaksa gw tolak dengan halus, karena saat ini, gw lagi pengen sendiri, pengen ngefokusin ke hal-hal yang terlupakan (lupa ngurus Blog FMG (Free Mobile Game) salah satunya) en pengen memenej diri ke arah yang lebih baik. Pastinya, pengalaman sekamar dengan Si Romi udah ngasi nuansa tersendiri dalam hidup gw.


Trilogi Si Romi - The End

0 comments:

Post a Comment