Alone In Jakarta

Monday, March 31, 2008
Episode Terakhir dari Trilogi Si Romi


Di episode terakhir ini, gw bakal ceritain tentang perjalanan Si Romi mengarungi macetnya jalan-jalan di Jakarta. Bedanya, kali ini gw gak ikut. Disini, peran gw cuma sebagai narator, peran utamanya disabet Si Romi (gw bakal kembali jadi perah utama di posting-posting berikutnya). Entah kenapa, gw ngerasa kayak Watson yang sedang nyeritain Sherlock Holmes. Padahal petualangan Si Romi gak ada mantapnya sedikit pun, yang ada cuma kebodohan en kekonyolan.

Kali ini kekonyolan itu berlanjut...

Saat itu, hari Senin pagi, Si Romi harus nyerahin berkas-berkas dokumen administrasi ke pihak RS, termasuk pas photo hasil jepretan Studio #4, sementara gw lagi sakit mata sulit-sulitnya membuka mata di pagi itu. So, berangkatlah Si Romi menuju RS Fatmawati sendirian, tanpa ada yang menemani, cuma bermodal ransel butut yang dipinjam dari gw en senyum manis yang bisa meluluhkan hati wanita-wanita manula manapun.

Berbekal pengalaman yang berhasil nyampe di RS dua kali, Si Romi dengan percaya diri melangkahkan kakinya ke atas Kopaja 612. Dia mengambil tempat duduk di pinggir jendela en mandang ke luar dengan keyakinan bakal sampe tujuan, karena sudah dua kali melalui jalan yang sama, tanpa menyadari bahwa mungkin Tuhan berkehendak lain hari itu. Setelah memperhatikan jalan-jalan macet yang dilewati Kopaja selama setengah jam, percaya diri Si Romi makin bertambah melihat gedung-gedung metropolitan Jakarta yang sudah pernah ia lewati sebelumnya.

Hanya saja, kemacetan yang selalu parah di Senin pagi, membuat supir Kopaja berubah pikiran. Alih-alih mengambil rute seperti biasanya, yaitu berbelok ke jalan-jalan sempit di Kemang Timur dan Ampera Raya, Si Supir memilih untuk terus lurus melalui Jalan Warung Jati Barat yang ujungnya tu Ragunan. Disinilah masalah bermula, Si Romi merasa mulai tidak mengenali jalan yang sedang dia lewati.

Setetes demi setetes keringat mulai meleleh keluar dari pori-pori badan Si Romi. Saat itu, walau jalan-jalan Jakarta sedang rame-ramenya ama kendaraan yang penuh sesak, tapi ia merasa seperti sedang berada di tengah hutan rimba yang sejauh mata memandang hanya ada pohon dan semak belukar, tanpa kompas. Di tengah kebingungan ini, Si Romi mencoba percaya pada supir Kopaja, ia yakin suatu saat nanti pasti nongol daerah yang dia kenal.

Kepercayaan itu menunjukkan hasil, Si Romi melihat perempatan yang dia yakin inilah tempat pemberhetiaannya, sebelum melanjutkan naek 509 ke Fatmawati. Sayangnya nilai C- pada tes memori bukanlah kesalahan penguji, Si Romi salah membedakan perempatan Cilandak dengan perempatan Ragunan.
Walhasil, abis turun dari 612, manusia yang satu ini melangkah dengan pasti ke arah Pasar Minggu, yang notabene arahnya bertolak belakang dengan Fatmawati.

Setelah berjalan selama 15 menit en belum juga nemuin halte tempat ngetem Kopaja 509, Si Romi serasa disambar geledek en baru sadar klo ia udah salah arah. Dia langsung berjalan balek ke perempatan Ragunan trus naek lagi 612 yang lagi lewat. Sampe akhirnya, dia liat sebuah perempatan, dimana 612 berseliweran, pos polisi yang dikelilingin ma pohon lebat, warung tempat berteduh pas hujan, pinggir jalan tempat ngerokok pas nunggu 612 kemaren. Perempatan Cilandak!!

Si Romi seperti menemukan napasnya kembali, dengan lugas ia turun dari 612, menyebrang jalan, melewati pos polisi yang banyak pohonnya, dan akhirnya ia bisa melihat sebuah halte yang di depannya ada Kopaja 509 berwarna kuning. Suara cempreng kernek yang berteriak, "lebak bulus! lebak bulus!" serasa bagai nyanyian merdu di telinga Si Romi. Demikian juga, tempat duduk yang penuh terisi, yang menyebabkan ia harus berdiri tak mampu menggoyahkan ketenangan hatinya.

Setelah 509 mulai jalan, Si Romi memusatkan pikiran dan raganya pada perempatan pertama setelah perempatan Cilandak, yaitu perempatan Fatmawati. Selang beberapa menit, ia melihat sebuah perempatan, namun bukan di jalan yang sedang dilalui Kopaja, melainkan di jalan lingkar Jakarta yang berada di bawah. Si Romi mulai meragukan ingatannya, apa ini Kopaja yang bener? Apa aku salah jurusan?

Pengalamannya sebagai mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Farmasi USU membuatnya tak mudah panik. Ia menarik napas dalam-dalam, dan mulai menenangkan diri, Aku harus menyusun strategi! Tepat saat Si Romi berhasil mengumpulkan ketenangannya dengan susah payah, terjadi kegaduhan di dalam Kopaja. Seorang Ibu yang duduk dua bangku di depannya, mulai panik, menoleh ke sekililingnya dengan panik, dan dengan wajah pucat yang hampir menangis, berkata, "tolong!! Saya tersesat!! Saya dimana ini?"

Seketika, semangat Si Romi jatuh ke dasar tanah yang paling dalam, sedalam lubang pengeboran minyak bumi. Kepanikan Si Ibu dengan cepat mulai menjalar ke pembuluh nadinya, dan mulai memenggal harapan-harapan yang masih tersisa. Jangan-jangan nasib aku juga sama kayak ibu itu. Tersesat di Jakarta bagian entah dimana. Saat itu, kondisi Si Romi mungkin lebih buruk dari Si Ibu, tatapannya kosong, kulitnya pucat, hanya debar jantung yang kencang luar biasa yang menandakan ia masih hidup.

Perlahan, ia menatap ke arah Si Ibu berwajah pucat yang sedang mendengar arahan dari empat orang di sekelilingnya.
"Ntar, abis ini, Ibu turun di ..., trus naek ... ke arah ...."
"Ya, bener bu."
"Ibu juga bisa naek ..., tapi turun di ..., baru lanjut ke ...."
"......."
Omak... Ibu tu udah ada yang nolongin. Kalo aku, siapa yang tolong?

Saat itu, detik yang berlalu serasa bagai semenit, dan semenit serasa bagai sejam. Si Romi benar-benar tenggelam dan putus asa di tengah-tengah kota terbesar di Indonesia. Keringat mengucur semakin deras dan mulai membasahi kemejanya. Waktu terus berlalu, sementara yang ia lakukan hanya menguping pembicaraan Si Ibu yang masih pucat dengan empat orang penolongnya, yang jelas tidak memberikan solusi bagi masalahnya.

Lelah mendengarkan pembicaraan mereka, dengan tatapan kosong Si Romi memalingkan muka ke kanan. Samar-samar, ia melihat bangunan yang dikenalnya, bangunan tempat dia pernah singgahin bareng Si Bebenk, Si HendraS, Si Iman, en Si Kai. Bangunan yang berupa sebuah mall. Citos!!

Langsung setelah matanya mengenali Citos, semangatnya hidup kembali dan melambung setinggi puncak Monas. Segera saja, ia menoleh ke kiri dan mendapati RS Fatmawati, tempat tujuannya, masih di tempat biasa. Si Romi hanya bisa menghela napas lega dan menggelengkan kepala, ia baru saja menghabiskan waktunya dengan kecemasan yang seharusnya tak perlu terjadi. Untung kemaren Si Kai ngajak ke Citos, klo nggak .... Ia tak bisa menyelesaikan kalimat yang sudah terangkai di kepalanya.

Sebelum turun, Si Romi kembali menoleh ke kanan, dan tersenyum pada Citos, yang berdiri dengan gagahnya, seakan menaungi manusia-manusia yang sedang tersesat.


...........



Epilog

Selanjutnya tak ada lagi cerita menarik yang bisa gw tulis, karena sejak saat itu, Si Romi tak pernah lagi tersesat ke Fatmawati. Dia mulai berani melangkah sendiri di Jakarta, nyari Gramed, bahkan pada saat post ini gw tulis, dia sedang menuju Bekasi, tempat Si Bebenk, sendiri. Ya, mudah-mudahan aja, dia bisa ketemu Si Bebenk en pulang dengan selamat plus GPS (gak pake sesat).

En gw bakalan ngelaluin April sendirian di kos, cuz Si Romi balek ke Medan di awal April. Kalo ada tiket, dia pinginnya pulang tanggal 4 malem naek Lion, bukan karena pengalaman mencekam naek Air Asia, tapi karena pengen nyoba maskapai yang laen.

Si Romi justru menilai positif pengalamannya naek Air Asia. Penundaan keberangkatan sampe tiga kali, justru menunjukkan kalo pihak Air Asia sangat peduli pada keselamatan penumpang, dan tidak melanjutkan perjalanan dengan kondisi pesawat yang gak normal demi mencari profit. Mungkin ini disebabkan karena manajemennya bukan dari orang Indonesia yang profit oriented, tapi dari orang asing berpikiran maju yang brand oriented.

Kembali ke soal kos-kosan, sebenarnya ada temen gw yang minta sekamar dengan gw. Tapi, setelah mikir beberapa hari, terpaksa gw tolak dengan halus, karena saat ini, gw lagi pengen sendiri, pengen ngefokusin ke hal-hal yang terlupakan (lupa ngurus Blog FMG (Free Mobile Game) salah satunya) en pengen memenej diri ke arah yang lebih baik. Pastinya, pengalaman sekamar dengan Si Romi udah ngasi nuansa tersendiri dalam hidup gw.


Trilogi Si Romi - The End

The Brotherhood Of Mosa

Thursday, March 13, 2008
Episode 2 dari Trilogi Si Romi


Di posting sebelumnya, gw udah diceritain klo Si Romi akhirnya sampe di tempat magangnya di RS Fatmawati. Sekarang, tugas bwt gw adalah gimana caranya supaya Si Romi bisa ngingat rute-rute yang kita laluin menuju RS Fatmawati. Ternyata ini bukan perjuangan yang ringan cuz dalam sebuah tes memori yang pernah diikutinnya, Si Romi dapet nilai C-.

Kesimpulan yang bisa diambil adalah: "Klo nilai C adalah ukuran rata-rata kemampuan mengingat seseorang, maka daya ingat Si Romi berada dibawah rata-rata."

Hmm.. Jujur sih, gw agak ragu ma kredibilitas tes yang satu itu, cuz gimana mungkin orang yang daya ingatnya dibawah rata-rata bisa jadi sarjana S1 Farmasi. Padahal, setahu gw, di Farmasi tu banyak hapalannya (klo gw salah, mohon jangan digampar).

Tapi, sesuai pepatah: Hujan emas di negeri orang, lebih baek hujan batu di negeri sendiri... (Gw gak bakal tinggal di dua negeri itu, hujannya bisa buat kepala benjol!!)

Gak nyambung yah?
Maksud gw: Sedia payung sebelum hujan.

So, gw ngerencanain nganter Si Romi sekali lagi ke RS Fatmawati, supaya gak terjadi hal-hal yang gak diinginkan pas Si Romi pergi sendiri ntar. Biar rame dikit, gw ngajak temen-temen SMU dulu, Si HendraS en Si Iman (keduanya baru aja lulus dari STIS, en bersedia ditempatkan kemana aja, untungnya ntar mereka disuruh pulang balik ke Aceh), plus Si Bebenk, lulusan STAN yang udah kerja di Bekasi.

Pas ngajak mereka bertiga, gw bilang klo kita mw jalan-jalan ke Citos, ya sekalian biar Si Romi hapal jalan ke tempat magangnya. Karena nyebutin Citos duluan, tiga anak Aceh tadi langsung setuju. Gw yakin banget klo gw nyebut kita mw jalan ke RS Fatmawati doank, peluang mereka bertiga ikut cuma 40%. En pertanyaan pertama yang bakal mereka ajuin adalah, "ngapain ke sana?" atw "mo mbesuk siapa?"
atw yang lebih naas, "apa gak ada tempat laen?"

Pas hari H, abis dzuhur, berangkatlah kami, lima orang alumnus SMU Modal Bangsa (Mosa) taon 2002, menuju Citos. Kerennya, sebelum berangkat Si Romi baru inget klo dia belon punya pas photo bwt diserahin ke RS. Jadi, perjalanan kami menuju Citos diawali dengan pencarian terhadap Studio Photo.

Studio Photo #1
Bangunannya udah dibongkar!! Gw aja gak nyadar klo Studio Photo yang paling deket dengan kos gw dah lenyap..
Konyolnya, sebelon gw kasi tw, Si HendraS terus-terusan muter di sekitar situ, sambil bilang, "Aku yakin tokonya di deket sini," ke Si Romi.

Studio Photo #2
Yang jaganya lagi sholat dzuhur entah dimana, en baru aja pergi beberapa saat sebelum kami nyampe.

Studio Photo #3
Yang jaga keliatannya ada, tapi menurut Si Romi, tempatnya kurang keren, pengen cari yang lebih elit (GEDUBRRAAKK!!), padahal kita lagi pengen buru-buru. Si Romi berasumsi klo foto di studio ini, ntar hasil cetakannya gak sama dengan wajah aslinya. Klo yang difoto tu orang, ntar hasil cetakannya bisa jadi wajah gorila, atau sebaliknya.

Karena maunya yang elit, langsung aja gw bawa dia ke
Studio Photo #4
Disini Si Romi gak banyak cingcong en langsung pasang gaya untuk difoto. Sekedar info, untuk pas foto bwt dikasi ke RS, Si Romi milih gaya "tegak dan diam". Menurut pegawainya, fotonya bakal jadi dalam sejam kemudian, but we have no time to waste, so kami langsung menuju ke Citos via RS Fatmawati.

Setelah ngacuhin beberapa Kopaja 612 yang gak layak dinaiki (semua malingkan muka begitu liat Kopajanya penuh), akhirnya kami dapet Kopaja yang masih kosong. Gw duduk bareng Si Iman, Si Romi duduk bareng Si Bebenk, en Si HendraS duduk sendiri, ngarep ada cewe yang nyamperin.

Seperti biasa, perjalanan memakan waktu cukup lama, ditambah dengan kecepatan Kopaja yang (menurut gw) cuma 20 km/jam klo gak macet. Klo anak-anak Mosa dah pada ngumpul, biasanya kita suka cerita-cerita tentang masa SMU yang gak ada duanya. Mungkin inilah bedanya SMU yang ada asramanya dibanding SMU biasa, lebih kompak, banyak pengalaman yang berkesan (kayak cabut dari sekolah lewat sawah), en banyak panggilan dari senior di waktu malam (khas sekolah asrama!).

Sampe di suatu tempat, Si Iman baru sadar klo ini dekat ma rumah sodaranya, selama ini dia ke daerah ini dengan cara nyambung-nyambung angkot beberapa kali yang nyebabin ongkos jadi lebih mahal, padahal cukup sekali aja en ongkos jauh lebih murah. Secara gak langsung, gw merasa jadi pahlawan he he..

Sampe di perempatan Cilandak, hujan deras banget. Tapi kami harus mengakhiri perjalanan kami dengan Kopaja 612. En langsung nerobos hujan demi bangku yang gak empuk di dalam Kopaja kuning 509. Setengah jam kemudian kami nyampe di RS Fatmawati. Koq lama banget? Cuz 509-nya ngetem dulu 20 menit. Capee dech...

Setelah puas ngitarin kompleks RS selama 15 menit, kami go to Citos jalan kaki, cuz mallnya tu diseberang RS. Sampe di Citos, kita keliling nyari tempat cuci mata yang asik. Setelah satu putaran, lima orang anak kampung yang belon pernah nginjak Citos sebelumnya bengong cuz yang ada di Citos cuma tempat makan doank. Tempat shopping cuma satu, Matahari yang gedenya luar biasa. Pantes Bumi makin panas sekarang, cuz Matahari buka cabang dimana-mana.

Berhubung perut dah mulai disko, kita keliling sekali lagi buat nyari tempat makan. Karena baru hanya satu dari kami yang udah nerima gaji tetap, so kita nyari resto yang murah meriah. Sialnya kami gak nemuin dua resto fast food favorit, restonya Kol. Sanders en Ronald si badut, adanya cuma A&W. Itupun tempat duduknya dah penuh, yang ngantri aja belon tw duduk dimana, apalagi kami!

Akhirnya dengan raut kecewa en perut lapar, kami mutusin cabut dari Citos. Kali ini gak ada bangku kosong di Kopaja, tapi kami tetep naek. Soalnya abis nunggu setengah jam, 612 yang lewat cuma satu ini.

Sampe di Kampung Melayu, kita temenin Si Romi ngambil pas photo trus cabut ke kos gw, en makan di warteg deket situ dengan menu ala dapur Mosa, serba T, tempe, tahu, en tongkol.

Perjalanannya boleh gagal en kita pulang dengan kecewa, tapi rasa kebersamaan anak-anak Mosa selalu bisa ngalahin..


to be continued...

The New Guy

Saturday, March 8, 2008
Episode 1 dari Sebuah Trilogi


Selama dua minggu terakhir ini, ada perubahan besar dalam komposisi kamar gw. Terhitung sejak tanggal 24 Februari pukul 21.00 WIB yang lalu, penghuni kamar gw jadi dua orang yaitu gw (Si Kai) en the new guy, Si Romi. Sosok yang terakhir ini sengaja bela-belain magang di RS Fatmawati supaya jadi penghuni Jakarta selama sebulan.

Ok, gw ceritain sekilas riwayat hidup makhluk yang satu ini. Nama lengkapnya adalah Romi Achmadi, lahir di Kuala Simpang sekitar 23 taon yang lalu. Buat loe-loe yang belon tw, Kuala Simpang tu adalah sebuah kota di kabupaten Aceh Tamiang. Dia menghabiskan SDnya di Kuala Simpang, trus SMPnya di Pesantren Bustanul Ulum, trus SMUnya bareng ma gw di SMU Modal Bangsa, Cot Gendreut, Aceh Besar. Pria yang satu ini lalu ngelanjutin pendidikannya di USU, jurusan Farmasi, dan selesai dalam waktu 5 tahun, tentu saja tidak Cum Laude. Berikutnya dia ngambil kuliah keprofesian (atau kayak gitulah namanya) dan diharuskan magang. Dia memilih magang di Jakarta, en sampailah anak ini ke ibukota Indonesia.

Perjalanannya ke Jakarta penuh dengan rintangan bukit berduri dan semak belukar. Bayangin aja, tiket pesawatnya tu naek Air Asia jam 8.40, tapi sampenya di Jakarta baru jam 16.00. Weleh-weleh, ngapain aja tu pesawat? Ke Mall dulu?
Usut punya usut ternyata, pesawat dengan tepat waktu lepas landas sekitar jam 9an. Sebelum pesawat mengudara, pramugarinya terlebih dahulu memeragakan panduan keselamatan di udara.
(halah!? Ngapain juga diceritain? Nenek-nenek juga tw!)
Setelah setengah jam perjalanan (ini versi Si Romi, mungkin versi pilotnya beda), pesawat mutusin balek ke Bandara Internasional Polonia karena kerusakan mesin. Karena mw diperbaiki, penumpangnya disuruh turun ke Waiting Room. Jam 11.30an (seinget gw), Romi kembali naek ke pesawat, setelah semuanya siap, pramugari kembali memeragakan panduan keselamatan di udara. Tapi, sebelum sempat take-off (buat loe, yang Englishnya cekak, ni artinya "lepas landas") pesawat muter balek ke bandara. En penumpangnya turun lagi ke Waiting Room. Menurut Si Romi, beberapa penumpang terlihat marah-marah, malah ada beberapa yang mutusin ngebatalin perjalanannya dengan Air Asia. Jam 2 kurang dikit, para penumpang kembali diminta naek ke pesawat, dan setelah itu pramugari untuk ketiga kalinya memeragakan panduan keselamatan di udara. Untungnya pesawat gak balek lagi, en nyampe dengan selamat di Selat Sunda Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Selama beberapa hari, Si Romi kerjanya bobo mulu di kamar gw, karena gw harus kuliah, padahal dia harus ngelapor ke RS Fatmawati. Berhubung gw kuliahnya ngejar tayang terus, so gw baru bisa nganterin dia ke sana lima hari kemudian. Berbekal ngeliat peta Jakarta taon 2004 di laptop en informasi berantai yang ga jelas sumbernya, dengan mantap kami menaiki Kopaja 612 yang menurut info dari Si HendraS (yang ternyata dapet dari temennya) lewat di depan Citos. Sekedar info, Citos tu singkatan gaul dari Cilandak Town Square, yang lokasinya (menurut peta taon 2004 bikinan orang Jerman) dekat dengan RS Fatmawati.

Ternyata perjalanannya memakan waktu yang cukup lama. Lewat sejam, gw dah gak tw lagi dimana lokasi gw. Saat itu, setiap detik yang mengalir semakin ngelunturin rasa percaya gw terhadap kata-kata Si HendraS, "kata kawanku 612 tu lewat Citos."
Tapi berhubung Si HendraS tu masih kami anggap temen, so kami telan mentah-mentah aja semua yang dia bilang. Tapi rasa percaya itu cuma bertahan hingga kami sadar bahwa penumpang Kopaja tu tinggal kami berdua.

Akhirnya gw beranikan diri nanya ke kernek Kopaja, "klo mw ke Citos, turun dimana ya bang?"
"Citos? Harusnya turun di perempatan yang gede tadi."
Great!!! Siapa bilang 612 lewat Citos!? Ada dua kalimat terkenal yang cocok bwt ngaplikasiin kondisi saat itu. Yang pertama adalah pepatah: "malu bertanya, jalan-jalan." Yang kedua adalah ayat Al-Quran: "Bila suatu urusan (road to Citos) diserahkan kepada yang bukan ahlinya (Si HendraS), maka tunggulah kehancurannya (nasib gw en Si Romi)!"

Setelah dapet informasi yang "benar", kami langsung turun dari Kopaja, trus nanya lagi ke orang di sekitar sono (gw ga tw nama daerah itu). Sesuai petunjuk dari satpam Cilandak Mall, kami ngelanjutin perjalanan en luckily setengah jam kemudian nyampe di RS Fatmawati setelah dua kali ganti angkot.

Sorenya, setelah urusan administrasi Si Romi dengan pihak RS beres, kami langsung cabut ke kos gw di Otista dalam guyuran tetesan hujan rintik-rintik. Karena jalur perjalanan udah teridentifikasi, so pulangnya gak ada masalah, cuma Si Romi aja yang masih bingung arah.

Pas pulangnya, kami naek Kopaja 612 lagi, en kebetulan ada grup ngamen yang lumayan keren, lengkap dengan gitar, perkusi, plus biola!! Wah jarang-jarang nih. Mereka ngebawain 'Kisah Tak Sempurna'-nya Samsons en 'Jujur'-nya Radja. Dua lagu yang menurut gw bertolak belakang. Lagi asik enjoy dengerin lagu, di sela-sela pengamennya, datang seseorang yang minta duit, sebut saja Si X. Karena Si Romi gak ada recehan, jadi dia ngangkat tangan yang berarti maaf. Gw juga, bukan karena pelit, tapi saat itu emang gak ada recehan (Suer!!), ngikut gerakan tangan Si Romi. Eh Si X malah maksa! Uh, gw kecut juga, jangan-jangan yang ngamen ni gerombolan preman. Muka Si X yang tadinya gak keliatan, sekarang nongol si sela-sela ketiak personil Ngamen Band dengan raut wajah yang agak bingung. Ujung-ujungnya dia mencengkeram bahu Si Romi sambil bilang, "dua ribu!"

Hening beberapa detik sampe ahirnya kami menyadari bahwa Si X bukan pengamen, melainkan kernek Kopaja yang lagi nagih ongkos. Pantesan aja mukanya bingung gitu pas kami ngangkat tangan. Sambil nahan ketawa, gw ngasi ongkos ke kerneknya. Seumur idup, gw belon pernah ngalamin salah paham konyol kayak gitu sampe saat Si Romi ngangkat tangan pas Si X minta duit. En gw refleks ikutin Si Romi, karena gw kirain Si X tu pengamen!
Wakakaka.. How silly!?

Anyway karena kecapean di perjalanan, Si Romi ketiduran di Kopaja en baru sadar pas mw nyampe. Sekitar jam setengah lima, berakhirlah petualangan kecil gw en Si Romi untuk hari itu. What a journey! Klo ada yang mw bikin pilemnya, gw dah nyiapin judulnya, "Kai & Romi Go To The Fatmawati Hospital". Yah, beda-beda dikit dari "Harold & Kumar Go To The White Castle" yang kocak abis.


to be continued...