Secercah Asa Dalam Tumpukan Sampah

Tuesday, March 2, 2010
Ta mita keu droe leubeh get dari pada ta harap bak gob.
Berusaha sendiri lebih baik dari pada mengharap belas kasihan orang lain


Laki-laki tua itu asyik mengumpulkan kardus, kaleng, dan botol plastik yang tergeletak di atas tanah. Lalu ia memasukkan barang-barang bekas tersebut ke dalam sarung biru bermotif kotak-kotak. Siang yang mendung membuatnya harus segera beranjak dari pintu gerbang perumahan dosen Unsyiah, Sektor Timur – Darussalam. Setelah sarung terisi, ia lalu mengangkatnya ke atas sepeda ontel usang dan pulang.

Ibrahim, nama lelaki itu. Memulung adalah pekerjaannya. Ia menjalani profesi ini sejak tahun 2004. Kawasan Darussalam dan kampus Universitas Syiah Kuala menjadi tempat baginya mengais rezeki. “Lon jak ngon gaki keudeh (saya berjalan kaki ke sana (Darussalam)),” jelasnya.

Sedangkan sepeda ontel yang ia punya tak bisa dikayuh lagi. Besi-besinya sudah usang dan harus disangga dengan kayu. Sepeda itu hanya dibawa untuk meletakkan hasil memulung.

pemulung

Setiap hari Ibrahim berangkat dari rumahnya di Lambaro Angan, Aceh Besar. Pukul enam pagi ia telah mendorong sepeda dan berjalan menuju Darussalam yang berjarak sekitar 10 kilometer. Tak ada sandal yang menjadi alas kaki. Kemeja jingga kotak-kotak dan kain sarung coklat yang dipakai juga telah lusuh. Namun semangatnya berbanding terbalik dengan pakaian yang dikenakan.

“Usia tua bukan alasan untuk tidak bekerja,” ucap lelaki yang berusia 90 tahun ini.

pemulung

Tong sampah yang terletak di emperan toko dan selokan kerap menjadi sasarannya. Kardus-kardus bekas yang telah dibuang, ia kumpulkan ke dalam sarung. Begitu juga dengan botol-botol minuman. Semuanya dipungutnya untuk dijual. Tak peduli apakah kardus dan botol itu kering atau basah.

“Kalau basah nanti saya jemur lagi di rumah. Kalau kering baru saya jual,” jelas Ibrahim yang memiliki penampilan layaknya pejuang Aceh pada masa Belanda. Kepalanya yang diikat dengan sarung mengingatkan kita pada Teungku Chik Di Tiro.

Memang, menurut penuturan ayah dari lima anak ini, ia pernah ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda ketika remaja. Pada saat itu, Ibrahim bersama teman-teman sekampungnya dibawa ke Medan oleh panglima sagoe mereka. Sagoe adalah istilah yang digunakan untuk wilayah setingkat kecamatan.

“Kami berhasil mengalahkan Belanda, mereka lari waktu itu,” tutur Ibrahim bersemangat sambil memakai kacamata hitam, “biar tidak sakit mata,” jelasnya.

Ibrahim menjual hasil memulung itu kepada penampung di kawasan Tungkop yang tak jauh dari rumahnya. Dalam sehari lelaki tua ini dapat mengantongi Rp 10.000. “Tapi kalau sedang musim hujan seperti sekarang penghasilan saya berkurang. Saya tidak bisa langsung menjual. Harus dijemur dulu,” tambahnya.

Usia yang tak lagi muda sering kali menjadi alasan istri dan anak-anaknya untuk melarang lelaki itu bekerja. Namun, baginya duduk diam di rumah justru akan membuat dia semakin tua dan sakit-sakitan.

“Kalau tidak kerja saya malah sakit. Kalau seperti ini saya kuat,” tutur Ibrahim sambil tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang kekuningan, beberapa diantaranya telah tanggal.

Ibrahim mengakui, selain tidak bisa berdiam diri di rumah, ia juga harus mencari uang untuk mengepulkan asap di dapur dan membiayai kuliah anak bungsunya. “Anak saya ada lima, empat sudah berumah tangga, satu lagi yang masih lajang dan kuliah. Kalau saya tidak kerja siapa yang membiayainya? Abang-abangnya hanya tukang bangunan dan pedagang ikan keliling,” jelasnya.

“Nyang ubiet nyan jinoe teungoh KKN di Keumireu (yang paling kecil itu sedang KKN di Keumireu,” tambahnya bangga.

Kini, enam tahun sudah Ibrahim menjadi pemulung. Dulu ia bekerja sebagai pendorong gerobak air ke warung-warung di Pasar Seulimum. Tetapi, setelah tsunami ia pindah ke Lambaro Angan dan berganti profesi menjadi pemulung.

“Leubeh get ta mita keu droe dari pada ta harap bak gop (Lebih baik berusaha sendiri dari pada mengharap belas kasihan orang lain),” ungkap Ibrahim seraya beranjak pergi dan mendorong sepeda usangnya.


Sumber: Liza-Fathia

10 comments:

uLie said...

nice story bang,,, :)

millati_bae said...

Kirain Bang Kai yang wawancara si bapak...
Btw, banyak pake basa Aceh, jadi nambah daftar kosa kata.

bonk ava said...

perjuangan yang gigih! salut!

liza fathia said...

jiah bang kai, langsung dicopas. semoga bermanfaat untuk yang baca ya...

kai said...

@uLie
yuppi..

@mila
no.. not me..
baru sempat ke Banda pertengahan bulan ni..

@bonk ava
yup.. semangatnya harus dicontoh.. :)

@liza
yg beginian harus buru2 dishare.. :D
semoga kisahnya menginspirasi banyak orang..

secangkir teh dan sekerat roti said...

oh pak tua...

mengapa kau terlalu kuat disaat kau renta..?

liza said...

bang kai, liza mau minta tolong nih. bisa ngga tulisan liza ini jangan ditampilkan untuk sementara. soalnya sedang diikut lombakan. terimakasih

kai said...

@teh dan roti
mungkin karena dia tak pernah berhenti berjuang..

@liza
sekarang dah boleh kan..? :D

Anthony Harman said...

Kisah yang sangat menginspirasi

millati_bae said...

Deu, si abang. Lama kali pun hiatus nya..

Post a Comment